Penulis: Letnan Jenderal TNI (Purn.) Besar Harto Karyawan
BANJIR bukanlah kejadian alam yang tiba-tiba datang tanpa sebab. Ia adalah cerminan dari cara manusia memperlakukan bumi. Ketika curah hujan tinggi mengguyur, air yang seharusnya diserap tanah justru tumpah ruah ke sungai dan meluap menjadi air bah.
Di balik fenomena itu, tersembunyi krisis besar: rusaknya daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi tulang punggung tata air di bumi.
Daerah aliran sungai adalah sistem alami yang mengatur perjalanan air dari hulu hingga ke hilir. Namun, kini banyak DAS kehilangan kemampuan dasarnya: menampung, menyerap, dan menyalurkan air secara seimbang.
Kapasitas sungai menurun drastis akibat pendangkalan, penyempitan, serta sumbatan dari sedimen dan sampah yang menumpuk tanpa kendali.
Ketika hujan deras datang, ribuan kubik air dari berbagai penjuru mengalir deras menuju DAS secara bersamaan. Debit air meningkat dalam waktu singkat, melampaui daya tampung aliran.
Sungai yang tak lagi mampu menahan tekanan itu akhirnya meluap, melibas rumah-rumah, sawah, hingga jalan raya. Inilah awal dari bencana yang kita sebut banjir dan air bah.
Salah satu penyebab utama kondisi ini adalah hilangnya fungsi resapan air di daratan. Dulu, air hujan memiliki waktu untuk meresap perlahan melalui akar-akar pohon dan pori-pori tanah.
Kini, hutan-hutan gundul membuat air hujan langsung jatuh ke permukaan tanah tanpa proses filtrasi alamiah. Air tak lagi punya waktu untuk masuk ke bumi. Ia mengalir cepat ke sungai, mempercepat peningkatan volume air dalam waktu bersamaan.
Ironisnya, urbanisasi memperparah keadaan. Permukaan kota yang tertutup aspal, beton, dan bangunan membuat air hujan kehilangan jalan untuk meresap.
Setiap rumah tangga, industri, hingga kawasan komersial menyumbang volume air yang luar biasa besar ke sistem drainase kota. Satu rumah saja bisa menghasilkan 2–4 kubik air hujan yang langsung dibuang ke parit tanpa peresapan. Kalikan dengan ribuan rumah—hasilnya adalah tekanan luar biasa pada sungai.
Parit dan gorong-gorong yang seharusnya berfungsi sebagai jalur pengalir air sementara kini menjadi saluran utama yang mempercepat arus air ke DAS.
Tanpa sistem penyaring dan penampungan, semua air ini berkumpul di sungai secara bersamaan. Ketika curah hujan ekstrem terjadi, tak ada lagi waktu atau ruang bagi air untuk mengendap. Sungai pun menjadi bom waktu yang siap meluap kapan saja.
Masalah ini diperparah dengan hambatan dari laut. Di banyak wilayah pesisir, banjir darat seringkali bertepatan dengan air pasang atau rob. Saat laut naik, air sungai tertahan dan tak bisa mengalir keluar.
Akibatnya, air justru berbalik ke daratan, menambah parah genangan. Kombinasi antara curah hujan tinggi dan pasang laut menciptakan bencana ganda yang sulit dikendalikan.
Namun semua ini bukan tanpa solusi. Kuncinya ada pada mengembalikan fungsi peresapan air—baik melalui cara alami maupun buatan. Hutan harus direhabilitasi agar kembali menjalankan perannya sebagai penyimpan air.
Di wilayah perkotaan, masyarakat dapat membangun sumur resapan, biopori, taman resapan, dan ruang hijau terbuka untuk menahan air sementara sebelum masuk ke sistem drainase.
Selain itu, penataan ulang lahan di daerah pegunungan sangat penting. Sistem sengkedan atau terasering bisa membantu memperlambat aliran air, memberi waktu bagi air untuk meresap. Pemerintah juga perlu memastikan setiap proyek infrastruktur besar memiliki sistem pengelolaan air yang berkelanjutan, bukan sekadar betonisasi saluran.
Proses peresapan ini diharapkan mampu menyerap 60–80% air hujan kembali ke tanah, sementara hanya 20% yang mengalir ke sungai. Dengan sistem seperti itu, air kembali menjalankan siklus panjang alami—meresap, mengisi cadangan air tanah, mengalir pelan ke sungai, dan akhirnya ke laut.
Siklus ini bukan hanya mencegah banjir, tapi juga menjamin ketersediaan air di musim kemarau.
Tanda-tanda keberhasilan upaya ini bisa terlihat jelas. Saat hujan deras, sungai tetap jernih, bukan coklat pekat karena erosi. Debit air stabil pada batas normal. Mata air yang lama mati bisa kembali memancar. Bahkan, di beberapa tempat akan muncul sumber air baru sebagai bukti bahwa alam mulai pulih.
Kesadaran ini harus menjadi gerakan bersama. Pemerintah, akademisi, pebisnis, dan masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga DAS. Tidak cukup hanya menunggu proyek besar, setiap rumah tangga bisa berkontribusi dengan cara sederhana: membuat lubang biopori, menanam pohon, dan tidak membuang sampah ke parit.
Menyelamatkan DAS bukan pekerjaan sehari dua hari. Ini adalah investasi jangka panjang untuk keberlangsungan hidup manusia. Tanpa sistem air yang sehat, pertanian gagal, kota lumpuh, dan kehidupan menjadi rapuh. Air adalah sumber kehidupan—dan sekaligus sumber bencana jika disalahgunakan.
Kini saatnya kita berhenti menyalahkan cuaca. Banjir bukan takdir alam, melainkan hasil dari keputusan manusia. Selama kita menutup tanah dari peresapan, membiarkan hutan gundul, dan mengabaikan sungai, maka setiap tetes hujan adalah ancaman. Tapi jika kita memulihkan siklus air, setiap hujan akan menjadi berkah.
Menata ulang DAS berarti menata ulang masa depan. Sebab dari sungai yang sehat, lahirlah kehidupan yang seimbang. Dan dari tanah yang mampu menyerap air, lahir pula harapan bahwa banjir bukan lagi kisah tahunan yang selalu kita ratapi, melainkan pelajaran yang akhirnya kita pahami.***
Seluruh materi dalam artikel ini tanggung jawab penulis

